Saya meyakini bahwa semua orang pasti pernah diremehkan oleh orang lain. Begitu pula pengalaman saya kali ini. Sebenarnya ini sudah cukup lama. Tapi entah mengapa, setelah saya sudah setengah lebih membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, tiba-tiba saya ingin berbagi pengalaman saya ini.
Saat saya masih aktif di dunia seni bela diri Karate, saya sering mengikuti kejuaraan. Salah satunya POPDA yang digelar di GOR Bung Karno, Manahan, Surakarta.
Waktu itu tahun 2017, saya masih kelas 2 SMA. Di atas tadi saya menulis masih aktif Karate, ya? Maaf, saya ralat, hehe. Sebenarnya waktu itu waktu di mana saya krisis latihan, bahkan hampir tidak pernah. Jadi tidak bisa lagi dibilang aktif. Tetapi waktu itu, pelatih Karate saya mendesak agar saya mengikuti kejuaraan tersebut. Akhirnya, saya ikut. Padahal saya juga pengin walaupun tanpa disuruh, hehe. Tapi saya sudah merasa minder dulu.
Singkat cerita, hari H.
Saya mendaftar untuk 2 kelas, yaitu kelas Kata dan Kumite. Kelas Kata di Karate adalah pertarungan menampilkan mana jurus yang paling indah, sedangkan kelas Kumite sendiri adalah pertarungan seperti tinju atau gulat namun menggunakan kaki juga untuk menyerang. Setidaknya begitu menurut definisi saya. Saya yakin kalian bisa membayangkannya sendiri.
Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya benar-benar siap. Di semua kejuaraan yang pernah saya ikuti, saya selalu grogi dan pesimis, meski memang beberapa kejuaraan ada yang saya menangi.
Tapi kali ini, apa yang bisa membuat saya percaya diri? TIDAK ADA! Hahaha. Rajin latihan saja masih kalah apalagi jarang latihan. Sungguh tidak bisa diandalkan! Ada ya, orang macam saya? Haha.
Pertandingan pertama selalu kelas Kata. Saat-saat yang mendebarkan karena ketakutan saya dalam mengikuti kelas ini adalah LUPA! Lupa tanggal jadian :( Hahaha, enggak mungkin orang nggak punya pacar. Malah curhat! Tentunya lupa gerakannya. Apalagi saya pelupa. Bisa gawat.
Singkat waktu, ronde pertama dimulai untuk kelas Kata SMA/SMK sederajat, giliran saya tampil dengan lawan saya. Saya saat itu tim AK (merah), sedangkan lawan saya tim AO (biru). Kami mulai memainkan jurus masing-masing. Jurus yang akan saya mainkan adalah Gion (dibaca Jion), sedangkan lawan saya memainkan kata Gankaku—yang artinya burung bangau di atas karang. Meski awalnya saya kaget karena kata Gankaku jelas tingkatannya jauh di atas Gion, tapi saya tetap mencoba percaya diri dan yakin. Karena Gion adalah satu-satunya kata pilihan yang sangat saya kuasai dan di kata itulah saya paling pede dalam mengeluarkan semua power saya, hehe.
Pada saat itu juga, saat saya menyebutkan nama kata yang akan saya mainkan, BANYAK ORANG MEMANDANG REMEH SAYA. Bahkan juri sekalipun. BAHKAN ADA YANG TERTAWA, LHO! Sungguh kejam! (baca: lebay).
Tapi saya sudah sangat yakin saat itu, bahwa saya bisa memainkan kata Gion dengan maksimal, dan saya bisa membungkam atau bahkan menyumpal tertawaan orang-orang—juga juri—yang meremehkan saya! Meski level kesulitan jauh di bawah kata Gankaku, tapi jika bisa bermain dengan sangat baik, maka akan setara, itulah yang saya pikirkan.
Disinilah saat saya membayangkan pengalaman yang saya tulis ini, saya teringat Filosofi Teras—yang bukunya saya belum selesai baca saat menulis ini. Tentang dikotomi kendali. Ada hal-hal yang memang dibawah kendali kita dan ada pula yang tidak. Jadi, kita fokus saja pada apa yang dibawah kendali kita, misal di pengalaman saya ini kerja keras saya dalam memainkan kata, dan yang tidak dibawah kendali kita, misal di sini adalah penilaian orang lain dan hasil kejuaraan yang saya ikuti.
Tsadessssst benerrr! Hahaha. Kembali ke pengalaman. Tapi memang benar, ronde pertama kelas Kata SMA/SMK sederajat itu dimenangkan oleh saya. Meski lawan memainkan kata yang tingkatan levelnya jelas di atas kata yang saya mainkan, tetapi gerakannya tidak bagus dan goyah. Bagaimana saya tahu? Kan saya juga sedang main kata, nggak mungkin memperhatikan, dong! Ya tahu, lah! Saya diberitahu official saya yang melihat pertandingan kami (saya dan lawan saya).
Alhasil, saya seneng banget, cuy! Hahaha. Saya pengin tahu apa isi pikiran dan hati orang-orang yang telah meremehkan saya saat itu. Baiklah, meski saya menang ronde pertama, tapi ronde selanjutnya kalah, begitu juga di kelas Kumite. Keseluruhan, saya pulang dengan kekalahan. Tapi itu membuat saya lega, setidaknya saya sudah berusaha semampu saya dan menang satu ronde, haha (bangga banget!).
Jadi, kesimpulannya di sini adalah...
Yap, kalian bisa menyimpulkannya sendiri dan mengambil pelajaran yang berharga tentang kehidupan ya, guys! Tidak perlu saya beri tahu, kalian pasti sudah tahu dan paham.
Lain kali, kalau saya teringat pengalaman saya yang mungkin saja bisa menginspirasi banyak orang, akan saya share lagi di sini.
Terimakasih sudah membaca :)
Salam hangat sehangat matahari ☀🌻
Komentar
Posting Komentar