Langsung ke konten utama

Melepas yang (Tidak) Ingin Lepas

Pada saat itu, pikiranku langsung tertuju pada kalimat akhirnya saat ini tiba. Padahal, aku benar-benar tidak menginginkannya. Di satu sisi aku senang mengetahui bahwa kau memang tidak tepat untukku, tapi di sisi lain aku tidak ingin hal itu terjadi. Dan kau, gugur begitu saja seperti daun yang lepas dari cengkeraman ranting. Entah aku yang memang melepasmu, atau angin yang membawa kau pergi.

Jika saat itu aku masih berkesempatan bertanya satu dua hal kepadamu, mungkin pertanyaanku adalah apa kau senang jika saat ini tiba? Atau kau juga tidak menginginkan hal ini terjadi? Tapi bagaimanalah aku akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu padamu kala itu. Membuka mulut saja tidak mampu apalagi menggerakkan lidah, mengeja kalimat seperti itu. Tenang saja, ini hanya cerita. Bedakan antara bercerita dengan mengungkit. Aku tidak akan pernah mampu mengungkit luka lama itu, kau bahkan tahu bahwa aku juga tidak menyukai orang-orang seperti itu. Biarkan aku bercerita melalui aksara, kau hanya perlu membacanya saja. Biarkan aku mengenang luka dengan caraku sendiri, kau hanya perlu membacanya saja. Biarkan aku berkarya dengan segala lara yang terjejal di dalamnya, kau hanya perlu membacanya saja, tanpa perlu menyalahkan siapa pun.

O iya, apa kau masih ingat percakapan kita kala itu?
            "Kau tahu tidak kenapa aku selalu suka menyeduh kopi di bawah tatapan teduhmu itu?"
             "Tidak. Memangnya kenapa?"
             "Menyenangkan saja."
             "Kenapa menyenangkan?"
         "Eh, lupakan saja. Aku punya tebakan satu lagi," kau berkelit. "Kau tahu tidak kenapa kita sama-sama suka hujan?"
             "Hm, tidak.. Memangnya kenapa?"
             "Entah."
             "Eh, kau ini bagaimana?!" Lalu kita tertawa bersama.

Semenyenangkan itu saat kita belum tahu arti melepaskan satu sama lain. Semenyenangkan itu saat kita belum tahu arti kehilangan. Semenyenangkan itu saat aku tahu kau masih di hadapanku, menyeduh kopi bersama dan menikmati hujan yang turun melalui atap-atap kedai.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mendengar

Di dunia fana ini, bukankah semua orang butuh didengar meskipun bumi hanya hidup sementara dan langit hanya menunggu waktu yang tepat untuk runtuh? Lalu, meski suara kita sudah didengar, mengapa kita tidak mau mendengar? Mengapa lebih suka memotong omongan orang lain atau bahkan pergi saat orang lain belum selesai bicara ketimbang mendengarkan hingga selesai? Apakah membosankan? Tidak menarik mendengar orang lain yang bicara tapi ingin orang lain tertarik saat kita yang bicara? Bukankah ingin dihargai? Lantas, mengapa tidak menghargai?   Banyak pertanyaan, ya? Haha, maaf ya, tapi mungkin dari pertanyaan-pertanyaan di atas, sudah bisa membuat kita semua sadar bahwa mungkin selama ini, kita lebih suka didengar daripada mendengar. Bicara soal mendengar dan didengar, kedua perbuatan itu tidak ada yang buruk, namun yang buruk adalah kita sebagai manusia yang tidak atau mungkin belum bisa memberikan porsi yang seimbang untuk keduanya. Porsi yang seimbang? Maksudnya?   Iya, j...

Hujan Renjana

Hujan Renjana Hari ini hujan turun. Membasuh jiwa-jiwa penuh luka. Menepikan rasa sakit hati. Memberikan ketenteraman yang tak pernah ada sebelumnya. Hari ini hujan turun. Menenangkan hati-hati yang gelisah. Menurunkan rindu yang terpaku di langit. Melayangkan pesan-pesan kebahagiaan. Hari ini hujan turun. Bukan hujan biasa, jika kau tahu. Hari ini hujan renjana. Dan renjana itu jatuh tepat pada dirimu. Yang akan membuatmu patah, :) Iya, hari ini juga hujan. Aku tahu kau yang mengirim pesan itu kepadaku beberapa tahun yang lalu melalui surat yang dikirim Pak Pos. Aku tahu itu dirimu. Bagaimana bisa? Bisa saja. Entah mengapa aku selalu suka saat kau berbicara melalui tulisan kepadaku. Dan aku lebih suka saat itu dalam bentuk surat dengan tulisan tanganmu sendiri. Karena sejak dulu aku berpikir bahwa kita mempunyai kesamaan dalam hal hobi dan sikap. Dengan hobi suka menulis dan sikap yang tidak terlalu suka banyak bicara, itu sangat kontras. Kau menyukai tul...

Pernah Nggak Sih Terlintas di Pikiran Kalian Buat Berhenti Nyontek?

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Guysss... Pernah nggak sih terlintas di pikiran kalian buat “ BERHENTI NYONTEK ”? Kalo aku sendiri, pernah... dan itu bener-bener aku lakuin! Let’s check it out! Waktu awal SMP, yaitu semester 1 kelas VII, aku dapet peringkat 2 di kelas. Nah, bayangin gimana senengnya aku dong. Karena selama masih di SD, aku juga selalu dapet peringkat atas, kalo nggak peringkat 1, ya 2. Dan dengan masa-masa awal di SMP aku bisa dapet peringkat 2, itu membuktikan kalo aku bisa beradaptasi cepet sama keadaan. Setelah itu, saat tiba waktunya buat Ujian Akhir Semester 2 yang mana menentukan buat naik kelas atau nggak, tiba-tiba aja aku kepikiran buat “BERHENTI NYONTEK”, padahal selama aku mulai mengenyam pendidikan di SD, dan sampe aku dapet peringkat 2 di semester 1 SMP kelas VII, aku nggak pernah luput dari ngelakuin satu kata itu, nyontek. Emang nggak parah sih, nggak kaya temen-temenku yang lain, misal sampe bawa kertas isinya materi yang udah di...